Jenis-Jenis Perjanjian dan Syarat Sahnya
Pengertian Hukum Perjanjian
Secara umum bahwa hukum perjanjian adalah cabang hukum yang mengatur mengenai kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi atau perjanjian. Dalam proses perjanjian ada suatu peristiwa di mana dua pihak atau lebih menyetujui untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan tujuan menciptakan hubungan hukum yang sah.
Tercapainya suatu perjanjian adalah bisa memberikan kejelasan dan kepastian mengenai hak dan kewajiban masing-masing para pihak. Hal ini dapat mencegah sengketa dan bisa memfasilitasi penyelesaian konflik dengan menggunakan dasar hukum yang sah.
Istilah Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst dalam bahasa Belanda atau contract dalam bahasa Inggris. Kata overeenkomst mengandung dua istilah, yaitu perjanjian dan persetujuan. Perjanjian disebut dengan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu hal.
Menurut Prof. Subekti, S.H., perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dimana dua orang dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Sedangkan Perjanjian menurut Prof. Wirjono prodjodikoro, adalah suatu hubungan hukum, artinya satu orang wajib melakukan suatu hal tertentu dan pihak lain berhak menuntut kewajiban itu dalam hukum perjanjian.
Saat ini, dasar hukum perjanjian diatur dalam KUH Perdata. Adapun ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan berkontrak yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Prinsip ini didasarkan pada konsep kebebasan berkontrak, yang memberikan hak kepada individu atau entitas hukum untuk membuat perjanjian yang sah dan mengikat. Dengan kata lain, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang dan bagi mereka yang membuatnya. Pada intinya, kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat maupun tidak berbuat sesuatu.
Penting untuk dicatat bahwa ketidakpatuhan terhadap syarat-syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah atau dapat dibatalkan. Oleh karena itu, pihak-pihak yang ingin membuat perjanjian disarankan untuk memahami syarat-syarat sah perjanjian dan memastikan bahwa perjanjian tersebut memenuhi persyaratan hukum yang berlaku.
Adapun syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang menjadi dasar hukum perjanjian saat ini adalah:
1. Kesepakatan para pihak
Kesepakatan perjanjian menjadi dasar hukum bagi hubungan antara para pihak yang terlibat. berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri, dapat dilihat dalam Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUHPer. Paksaan telah terjadi jika perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Paksaan juga mengakibatkan batalnya suatu perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas.
2. Kecakapan para pihak
Dalam konteks hukum perjanjian, kecakapan para pihak merujuk pada kemampuan hukum seseorang atau badan hukum untuk membuat suatu perjanjian. Sebagai suatu prinsip, untuk membuat perjanjian yang sah, pihak yang terlibat harus memiliki kecakapan hukum atau kapasitas hukum yang cukup. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) di Indonesia.
3. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian harus memiliki objek yang jelas dan dapat diidentifikasi. Objek atau hal tertentu ini dapat berupa barang, jasa, hak, atau kewajiban tertentu yang menjadi fokus perjanjian. Apabila perjanjian tersebut melibatkan penyerahan barang, maka dalam perjanjian tersebut ditentukan jenis barangnya yang diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata yang menerangkan bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan. Selanjutnya, pada Pasal 1333 KUH Perdata dijelaskan bahwa suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4. Sebab yang halal
Dalam konteks hukum perjanjian, sebab atau tujuan suatu perjanjian yang dianggap halal harus memenuhi prinsip-prinsip hukum, etika, dan moral yang berlaku. Artinya isi dari sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1337 KUH Perdata yang menerangkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Bentuk-Bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perjanjian lisan dan tulisan. Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Sedangkan, Perjanjian tulisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan yang dituangkan dalam suatu akta.
Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian yang mengikat dan perjanjian yang tidak mengikat.
Perjanjian yang mengikat adalah jenis perjanjian yang dapat memberikan dasar hukum untuk menuntut atau memaksa pelaksanaan perjanjian atau mendapatkan ganti rugi jika salah satu pihak melanggar kewajibannya. Ada empat jenis perjanjian yang mengikat:
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebani pihak lain. Sebaliknya, perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani kinerja kedua belah pihak.
2. Perjanjian bebas dan Perjanjian beban
Perjanjian bebas adalah perjanjian di mana satu pihak memberikan keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima keuntungan apa pun untuk dirinya sendiri. Sedangkan perjanjian beban adalah perjanjian yang menuntut kinerja oleh masing-masing pihak.
3. Perjanjian konsensual, perjanjian aktual dan perjanjian resmi
Perjanjian konsensual, adalah perjanjian yang mengikat setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan. Perjanjian aktual adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, tetapi juga penyerahan objek atau objek dari kontrak. Perjanjian resmi adalah perjanjian yang tunduk pada formalitas tertentu, dalam hal ini menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Perjanjian bernama, Perjanjian anonim, dan Perjanjian campuran
Perjanjian yang ditandai dengan nama diatur tersendiri oleh undang-undang. Perjanjian anonim adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus oleh undang-undang. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan gabungan dari dua atau lebih perjanjian yang bernama.
Sedangkan perjanjian tidak mengikat adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu, dan terbagi menjadi empat:
1. Zakelijke overeenkomst, yaitu perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
2. Bevifs overeenkomst, yaitu perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
3. Liberatoir overeenkomst, yaitu perjanjian ketika seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
4. Vaststelling overeenkomst, yaitu perjanjian untuk mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan.
Kesimpulan
Pemahaman mengenai hukum perjanjian memberikan wawasan yang penting dalam konteks hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat. Hukum perjanjian merupakan cabang dari hukum perdata yang mengatur pembentukan, pelaksanaan, dan pembatalan perjanjian antara individu atau badan hukum.
Dengan memahami hukum perjanjian, seseorang dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam suatu perjanjian, serta bagaimana melindungi kepentingan mereka.
Dasar hukum dan Referensi
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
H. Salim HS., S.H., M.S., H. Abdullah, S.H. (Notaris), Wiwiek Wahyuningsih, S.H., M.Kn
Penulis : Yatatema Gea, S.H.,CTA