Analisis Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 Mengenai Parliamentary Thresold 4%



Tangerangtalk - Menurut Jurnal Hukum Responsive Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini suara minimal adalah 4% dari suara pemilihan nasional.

Maka dapat disimpulkan penghapusan angka 4% pada Parlementary threshold, yang apabila ditinjau dari aspek filosofis hal ini tidak sesuai dengan pancasila yaitu sila ke 4 dan juga hal ini bertentangan dengan teori keadilan rakyat yang dirumuskan oleh John locke. Latar belakang dari adanya penghapusan ini ialah dengan adanya putusan MK no 116/PUU-XXI/2023 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa menghapus ketentuan ambang batas parlemen atau atau parliamentary threshold sebesar 4% suara sah nasional untuk pemilihan umum (pemilu) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dimana MK juga menyatakan bahwa ketentuan ambang batas parlemen sekurang kurangnya 3,5% (tiga setengah persen) hal ini juga sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Parliamentary Thresold sebesar 4% dapat menyulitkan pertumbuhan partai politik kecil maupun menengah dalam persaingan untuk berada di dalam parlemen Indonesia. Adapun hal ini diatur oleh Undang-Undang Pemilihan Umum tahun 2017 dalam Pasal 414 ayat (1) dimana norma hukum ini menimbulkan beberapa pertimbangan hukum. Besaran ambang batas 4% ini terlalu tinggi untuk partai kecil maupun menengah bersaing dengan partai besar maka hal ini sangat dapat mendiskriminasi partai-partai kecil maupun menengah dalam proses demokratis.

Negara telah memberikan kebijakan perlindungan terhadap hak memilih warga negara dan juga telah membatasi hak tersebut. Namun perlu disadari bahwasannya persyaratan ambang batas sebesar 4% sangatlah tinggi. Bila dilihat dari data tahun 2014 sampai 2024 yang mana telah dilaksanakan pemilu sebanyak tiga kali dan data yang terlampir di dalam putusan mk Nomor 116/PUU-XXI/2023 dan menurut news detik.com menyatakan dengan jelas bahwasannya pemilu tahun 2014 dengan ambang batas 3,5% partai politik yang lolos di parlemen sebanyak 10 partai dari 12 partai, kemudian pada tahun 2019 dengan ambang batas 4% partai politik yang lolos di parlemen sebanyak 9 partai dari 16 partai, lalu pada tahun 2024 dengan ambang batas tetap di 4% partai politik yang lolos di parlemen sebanyak 8 partai dari 18 partai. Jika  diamati terdapat penurunan jumlah partai yang lolos di  parlemen di tahun 2019 dengan jumlah 3 partai lebih banyak daripada di tahun 2024 yang mana tidak dapat dipungkiri akan terjadinya penurunan jumlah partai yang lolos di parlmen di pemilu berikutnya sehingga dapat simpulkan bahwasannya parliamentary threshold 4% sangat mencekik partai kecil maupun menengah.

Selain itu pengurangan besaran ambang batas menjadi 3,5% akan dapat meminimalisir suara yang terbuang. Berdasarkan data yang terlampir di dalam putusan mk Nomor 116/PUU-XXI/2023 dan menurut news detik.com menyatakan bahwasannya besaran suara yang terbuang pada pemilu tahun 2014 hanya sebanyak 2.964.762 dibandingkan dengan pemilu tahun 2019 banyaknya suara terbuang sebesar 13.595.842 suara terbuang dan mengalami kenaikan pada pemilu tahun 2024 sebesar 17.304.303 suara terbuang. Sehingga perbedaan jumlah suara yang besar tersebut sangat terang dan telah sampai pada pendiskriminasian partai kekcil maupun menengah dan berdasarkan data diatas.

Maka angka ideal pada parliamentary threshold ialah 3,5% dimana angka ini telah ada pada tahun 2014 dan telah berhasil membawa 10 partai politik dari 12 partai dan terlihat jelas bahwasannya 3,5% tidak terlalu tinggi dan hanya berkurang 2 partai dari jumlah pendaftar. Sehingga angka ini tidak lagi bertentangan dengan kedaulatan rakyat sesuai dengan teori yang dibawakan oleh John Locke, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwasannya kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurutnya, perjanjian yang dibuat oleh rakyat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban asasi kepada rakyat melalui peraturan perundangundangan. Dengan idealnya angka ambang batas pada parlemen maka pemerintah tidak lagi mengabaikan konstituennya dan tidak banyak merugikan banyak orang.

Sehingga urgensi terhadap tulisan ini ialah

1. Penurunan angka dari 4% ke 3,5% efektif karena jumlah suara yang terbuang akan berkurang dan makna dari Parliamentary Thresold itu sendiri tetap ada karena proses penyederhanaan partai politik tetap mengikuti.

2. Adanya diskriminasi terhadap partai-partai kecil dan menengah dimana mereka telah kehilangan suara yang didapatkan secara sah dalam pemilu karena ambang batas 4% terlalu tinggi.

Oleh karenanya dengan adanya putusan mk yang pada amar putusan membahas mengenai perubahan angka ambang batas lebih efektif menggunakan 3,5% dengan data yang ada sehingga tidak membuat suara semakin terbuang dan tidak ada diskriminasi antara partai kecil karena dalam menentukan ambang batas harus memperhatikan soal besaran angka, dan menghitung dampaknya terhadap prinsip pemilu proporsional dan suara pemilih yang terbuang.*

*Rahel Melyna Turnip_Permahi Untirta

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url