Implementasi Perlindungan Hukum bagi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021


 

Nelly Esterina Situmorang

Tangerangtalk - Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi hingga saat ini masih menjadi masalah yang sangat memprihatinkan di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi suatu hal yang sangat mengkhawatirkan bagi para mahasiswa. 

Perguruan tinggi, merupakan lembaga ilmiah yang memiliki tugas menyelenggarakan Pendidikan dan Pengajaran di atas perguruan tingkat menengah serta memberikan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia secara ilmiah. Perguruan Tinggi yang seharusnya menjadi tempat para mahasiswa untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan serta aman untuk menuntut ilmu, justru menjadi tempat yang mengancam keselamatan, dan tidak memberikan rasa aman dan nyaman dan menjadi salah satu tempat terbanyak terjadinya kekerasan seksual. Berdasarkan data Kemen PPPA per April 2024, terdapat 2.681 kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Indonesia telah membentuk peraturan untuk mengupayakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang sering terjadi di lingkup perguruan tinggi, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dengan diterbitkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, memberi harapan kepada para korban pelecehan seksual untuk mendapat perlindungan hukum demi keadilan bagi korban, dan juga menjadikan suatu upaya untuk pencegahan pelecehan seksual khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 diharapkan menjadi langkah untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Peraturan ini dinilai detail dalam mengatur langkah-langkah yang penting untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi, serta dapat membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah terulangnya kekerasan seksual yang mengancam civitas akademika.

Langkah pencegahan kekerasan seksual oleh kampus menurut Pasal 6 ayat (1) Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dilakukan melalui kegiatan pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Langkah pencegahan tersebut dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian Sedangkan untuk langkah penanganan diwujudkan dalam empat langkah nyata berupa pendampingan terhadap korban, perlindungan korban, pemulihan korban baik secara fisik maupun psikis, dan pengenaan sanksi administratif kepada pelaku. Saat ini dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, pemerintah telah menyiapkan berbagai institusi dan satuan tugas untuk melakukan koordinasi dan pemantauan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini berlangsung. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 memberi amanat kepada pihak perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terdiri atas unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah membentuk Satgas PPKS.

Dalam upaya mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, ada hal yang perlu diperhatikan oleh Satgas PPKS, seperti halnya pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus. Pendampingan yang bisa diberikan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (2) Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah konseling, layanan Kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan/atau bimbingan sosial dan rohani. Selain berupa pendampingan Satgas PPKS juga berhak memberikan perlindungan sebagaimana yang telah dijelaskan pada Pasal 12 ayat (2) Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, yakni dengan memberikan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa yang merupakan korban atau saksi, memberikan jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai pendidik dan/atau tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang bersangkutan, memberikan jaminan perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum.

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual mengatur tegas sanksi bagi pelaku kekerasan seksual, mulai dari sanksi administratif ringan, sedang, hingga sanksi administratif berat. Sanksi ringan diatur dalam Pasal 14 ayat (2) yakni dengan memberikan teguran tertulis atau permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Untuk sanksi sedang diatur dalam Pasal 14 ayat (3) yakni berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak sebagai mahasiswa seperti skors perkuliahan, pencabutan beasiswa, dan pengurangan hak lain. Sedangkan sanksi berat dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 diatur dalam Pasal 14 ayat (4) yakni berupa pemberhentian tetap bagi mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, dan warga perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang dibentuk di tingkat Perguruan Tinggi.

Berbagai tantangan dalam menyikapi kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yaitu para korban yang membungkam suaranya dan takut untuk melaporkan ke pihak terkait atas kejadian yang dialami si korban, hal ini sangat penting dibangun sejak awal untuk mendorong korban untuk berani bersuara dan mendekonstruksi atas penderitaan yang dialami. Sosialisasi masif tentang kekerasan seksual harusnya sudah jelas di tingkat rektor, dekan, akademisi, mahasiswa, dan seluruh lini tataran kampus, untuk menerapkan nilai-nilai kehidupan, hak-hak penghargaan pada korban, cara mendapatkan perlindungan, maupun pencegahan pelecehan seksual. Saat ini, pemahaman tentang bentuk kekerasan seksual di kampus juga masih minim. Sebagai contoh, panggilan -panggilan yang bentuknya menggoda perempuan (siulan), bahkan hal-hal yang mengarah pada bahasa-bahasa seksis dan lain-lain adalah salah satu pelecehan seksual yang biasa disebut catcalling. Namun, hal ini di antara sebagian mahasiswa masih menganggap hal biasa sejak dari dulu sehingga dinilai berlebihan jika dimasukkan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual serta pemahaman yang minim pada tataran mahasiswa yang belum mengartikan bahwa banyaknya bentuk-bentuk pelecehan seksual.

Kampus masih memandang upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual itu rumit sehingga perlu dibentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) PPKS sebagai badan khusus yang menangani kekerasan seksual di kampus. Satgas pelecehan di kampus harus melakukan penyelesaian permasalahan pelecehan dengan berbagai upaya, melakukan pemanggilan, mediasi, interogasi pada korban oleh birokrasi kampus yang seharusnya terselesaikan dengan tuntas tanpa ada pemojokan kepada korban atau justru dilakukan proses-proses pembujukan untuk berdamai kepada pelaku. Seharusnya kampus sebagai pusat peradaban menunjukkan perannya. Sayangnya, hal tersebut malah dianggap aib dan bisa merusak citra baik kampus. Bahkan terdapat kampus yang terkesan abai terhadap laporan korban. Tidak sedikit laporan berakhir damai. Tidak sedikit pula laporan yang diproses hingga berbulan-bulan, tetapi tidak menemukan titik terang bagi kepentingan korban. Bahkan pelaku masih dapat hidup normal, tanpa merasakan sanksi apa pun atas perbuatan buruknya, sehingga kasus tidak tuntas atau tidak akan pernah terselesaikan. Kasus pelecehan seksual dapat dianggap tuntas atau selesai apabila korban sudah merasa aman, dan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal atas perbuatannya. Bukan sekedar memberikan peneguran untuk pelaku, sehingga pelaku masih merasa aman dan merasakan kebebasan dalam setiap gerak-teriknya di kampus.

Oleh karena itu, sangat dibutuhkan ketegasan dari Kemendikbudristek untuk terus mendorong Perguruan Tinggi yang belum membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sebagai komitmen untuk memberikan perlindungan terhadap civitas akademika sesuai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Sedangkan kepada Perguruan Tinggi yang sudah membentuk Satgas PPKS wajib untuk melakukan pemantauan dan evaluasi berkala secara berkala baik seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan dan penangan kekerasan seksual serta kinerja satgas itu sendiri. Berdasar pada Pasal 54 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, mekanisme pelaporan hasil monev dilakukan setiap semester yang berisikan tentang kegiatan pencegahan kekerasan seksual, hasil survei satgas, data pelaporan, kegiatan penanganan kekerasan seksual, serta kegiatan pencegahan keberulangan kekerasan seksual. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url