Pendidikan Inklusif: Langkah Awal Mengakhiri Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan

 


Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan merupakan sebuah proses untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, mampu berpikir secara saintifik dan filosofis akan tetapi mampu mengembangkan potensi dirinya dan tidak semata-mata mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan namun juga mampu mengembangkan nilai-nilai spritual dan religius pada peserta didik. Seperti halnya yang tercantum pada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan" adapun peraturan lain yang terkait yakni Pasal 2 dan 5 Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan: penghormatan terhadap martabat, otonomi individu, tanpa deskriminasi, partisipasi penuh, keragaman manusia dan kemanusian, kesamaan kesempatan, kesetaraan, aksesibilitas, kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak, inklusif, perlakuan khusus dan perlindungan lebih. Adapun dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwasannya penyandang disabilitas memiliki hak terhadap pendidikan.

Dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif tentu anak yang terlahir dengan spesiality (berkebutuhan khusus) juga ingin diperlakukan seperti anak lain yang terlahir normal dan anak yang berkebutuhan khusus juga adalah anak-anak yang berharga dalam keluarga dan negara. Jika mereka terus diperlakukan dengan spesial karena mereka memiliki kekurangan dan terus berada di lingkup atau lingkungan yang sama maka mereka akan kesulitan bersosialisasi dengan orang lain dan mereka akan menganggap diri mereka lemah dan menurunkan motivasi mereka untuk mengejar kesamaan derajat dalam mendapatkan pengajaran seperti yang anak-anak lainnya dapatkan, perlu kita ingat bahwasannya mereka adalah manusia yang memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kekurangan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, jelas dalam pasal 2 ayat 2 mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Penelitian tentang pendidikan inklusif telah banyak di lakukan di negara-negara barat sejak tahun 1980-an. Di antaranya adalah penelitian berskala besar yang dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif dan hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dengan teman sebayanya.

Dan jika kita tarik bahwasannya Pendidikan Inklusif Perlu Dikembangkan Untuk Pengajaran Anti Deskriminasi di Sekolah maka sesuai dengan karakteristik yang ada dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yakni:

Pertama, bersifat Universal (universality), artinya universalitas hak tidak dapat berubah atau hak asasi bersifat umum, semua orang tanpa terkecuali.

Kedua, martabat manusia (human dignity), merupakan hak yang melekat dan dimiliki setiap manusia di dunia tanpa terkecuali, dari dalam kandungan hingga manusia tersebut mati, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, gender, orientasi seksual, bahasa, kemampuan, atau kelas sosial lainnya.

Ketiga, kesetaraan (equality), konsep kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati harkat dan martabat yang melekat pada setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa “Setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya”.

Keempat, Non diskriminasi (non-discrimination), non diskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, kebangsaan, kepemilikan, dan status kelahiran atau lainnya.

Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disablitas, bahwasannya dalam penyelenggaraan pendidikan disemua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus haruslah memiliki akomodasi yang baik. Adapun kaitannya dengan sekolah inklusif meskipun sekolah inklusif mengalami peningkatan jumlah, akan tetapi penyelenggaraannya masih belum optimal, yang dimana akses pendidikan inklusif dihadapkan pada tantangan keterbatasan akses informasi dan kesiapan orang tua, ketimpangan akses, jumlah dan kualitas guru yang belum memadai, serta terbatasnya sarana prasarana penunjang belajar. Implementasi layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif diawali atau dimulai dengan kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disablitas mengatur bahwa pada kegiatan PPDB, peserta didik berkebutuhan khusus memperoleh afirmasi seleksi masuk di lembaga penyelenggara pendidikan. Afirmasi diberikan sesuai dengan kondisi peserta didik berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis. Namun demikian, pada PPDB 2023, Ketua Pokja Regulasi dan Tata Kelola Kemendikbudristek menjelaskan bahwa dari pemantauan implementasi PPDB afirmasi disabilitas, masih terjadi penolakan dari pihak sekolah maupun masyarakat akibat kurangnya edukasi masyarakat terkait konsep pendidikan inklusif dan minimnya sarana prasarana yang aksesibel di sekolah (Kemenko PMK, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus masih jauh dari harapan dan mengacu pada Rapor Pendidikan Nasional 2023, hasil capaian iklim inklusivitas secara nasional untuk jenjang sekolah SMP sederajat masih kurang, sedangkan di SD dan SMA sederajat dinyatakan baik. Meskipun dinyatakan baik, skornya terbilang rendah di kisaran 55 dari skor 100. Iklim inklusivitas sekolah menjadi salah satu elemen penting dalam Asesmen Nasional untuk mengevaluasi kondisi lingkungan sekolah yang terbuka terhadap perbedaan dan mampu memfasilitasi siswa dengan disabilitas serta cerdas istimewa dan berbakat istimewa. Defisit Guru Pendamping Khusus (GPK) juga menjadi masalah besar pendidikan inklusif, hal ini tidak hanya terjadi pada sekolah inklusif saja, tetapi juga di SLB. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan per Mei 2023, jumlah GPK di tanah air sebanyak 4.695 orang ditambah 10.244 guru reguler yang dilatih mendampingi penyandang disabilitas. Jumlah tersebut tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan 44.477 sekolah inklusif di tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan 146.205 siswa penyandang disabilitas ditambah 2.326 SLB dengan 152.756 siswa. Sementara itu Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif mewajibkan setiap sekolah memiliki minimal satu GPK dan sekolah reguler selama ini menolak menjadi sekolah inklusif dengan alasan tidak tersedianya GPK.

Pendidikan inklusif menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Perlu adanya proses perubahan paradigma berpikir serta cara pandang semua pelaku pendidikan dalam memahami konsep pendidikan inklusif secara utuh. Adapun pemerintah pusat dan pemerintah daerah haruslah memiliki komitmen terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif dan memfasilitasi pembentukan unit layanan disabilitas bidang pendidikan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disablitas. Fasilitasi tersebut mencakup peningkatan kompetensi dan keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kompetensi pendidikan khusus serta menyediakan sarana prasarana yang aksesibel untuk semua siswa. Dalam kaitannya dalam pendidikan inklusif Kemendikbudristek dan KemenPAN-RB juga perlu segera menuntaskan permasalahan GPK sehingga layanan pendidikan inklusif di daerah bisa berjalan optimal. Adapun DPR RI berperan penting dalam memastikan bahwa pendidikan inklusif menjadi prioritas dalam sistem pendidikan nasional. Untuk itu Komisi X DPR RI memiliki peranan yang penting dalam terlaksananya pendidikan inklusif anti deskriminatif:

Pertama, melalui fungsi pengawasan Komisi X DPR RI dapat memastikan bahwa kebijakan pendidikan inklusif yang telah ditetapkan terimplementasikan dengan baik oleh pemerintah dan lembaga terkait.

Kedua, mendorong pemerintah dan lembaga terkait tersebut untuk melakukan pelatihan dan pengembangan guru serta staf sekolah, terutama GPK dalam menghadapi kebutuhan siswa yang beragam.

Ketiga, mendorong partisipasi orang tua dan komunitas dalam mendukung pendidikan inklusif melalui program-program yang memfasilitasi dialog antara sekolah dan orang tua, serta mempromosikan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan inklusif.

Keempat, mendorong pemerintah untuk memastikan ketersediaan anggaran yang cukup guna penyediaan layanan pendukung anak berkebutuhan khusus, fasilitas fisik yang ramah disabilitas, dan teknologi pendukung lainnya di sekolah inklusif.

Kelima, mendukung kreativitas, inovasi, praktik, dan strategi lainnya untuk meningkatkan akses dan partisipasi siswa berkebutuhan khusus. 

Oleh sebab itu atas apa yang telah kita bahas sebelumnya bahwsaannya Pendidikan Inklusif Perlu Dikembangkan Untuk Pengajaran Anti Deskriminasi di Sekolah harus menjadi perhatian baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat itu sendiri agar hal-hal yang menjadi tujuan dari adanya sekolah inklusif dapat terimplementasikan dengan baik dalam realitas kehidupan.*


*Walminah_Permahi Untirta

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url