Persoalan Ketahanan Pangan Isu Gulungan Dari Bonus Demografi

 

Oleh : Hafiznur Arifin

Tangerangtalk.my.id - Persoalan ketahanan pangan akan menjadi salah satu gulungan dari isu bonus demografi di Indonesia. Melihat dimana pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya maka ketersediaan pangan menjadi diskursus penting untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di suatu daerah.

Berdasarkan teori Malthus yang mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasarkan deret hitung. Thomas Robert Malthus berpendapat bahwa peningkatan pertumbuhan penduduk yang tidak dibarengi dengan meningkatnya angka produksi pangan akan berpotensi menjadi akar masalah dari kemiskinan dan kelaparan.

Berkaca pada laju pertumbuhan penduduk di Indonesia yang saat ini berada pada angka 1,13% menurun 0,4% dibanding tahun 2022 yang menginjak angka 1,17% (Badan Pusat Statistik, 2023). Atau jika dikonversi kepada total jumlah penduduk seluruh Indonesia yang diproyeksikan akan menyentuh angka 278,8 juta jiwa pada tahun 2023, meningkat dari populasi penduduk tahun 2022 yang mencapai angka 275,77 juta jiwa.

Pertumbuhan populasi ini dilihat akan berpotensi meningkat tiap tahunnya. Kemudian jika dibandingkan dengan angka produksi pangan Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2023, dalam hal ini beras sebagai bahan pangan pokok dalam realisasi produksi beras Indonesia pada interval Januari – Juni 2023 yang hanya mencapai angka 18,4 juta ton beras. Sedangkan diproyeksikan produksi beras pada interval Juli – September 2023 berkisar 7,24 juta ton beras.

Jika diakumulasikan pada interval Januari – September 2023 produksi beras Indonesia diproyeksikan 25,64 juta ton beras, lebih rendah dibanding produksi beras periode 2022 yang tercatat 26,17 juta ton. Artinya ada penurunan produksi beras ±530 ribu ton, sebab penurunan tersebut disinyalir akibat kekeringan (El-Nino) yang terjadi pada pertengahan tahun 2023.

Kebutuhan akan sektor pangan Indonesia yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi akan meningkatkan neraca permintaan terhadap bahan makanan. Seperti inilah sifat ekonomi, suatu barang akan terintervensi nilainya akibat kelangkaan (Scarcity). Maka untuk menekan harga-harga dipasaran, pemerintah melakukan pembelian bahan-bahan pangan dari luar. Dalam 11 tahun terakhir Indonesia telah menghabiskan ±84,8 miliar USD atau setara dengan 1.272 triliun rupiah untuk memenuhi 6 dari 9 barang kebutuhan pokok pangan seperti beras, susu, bawang, garam, daging, dan gula dari pasar internasional (CNBC Indonesia, 2023).

Tidak seimbangnya penawaran terhadap permintaan bahan-bahan pangan seperti diatas secara sosial akan berimplikasi pada standar hidup masyarakat. Ada potensi krisis pangan jika hal tersebut tidak segera diatasi, karena melihat data beberapa tahun terakhir Indeks harga pangan naik 20,8 persen dari tahun sebelumnya dan sempat mencapai titik tertinggi pada Maret 2022. Indonesia sebagai negara agraris tetap akan terancam oleh krisis pangan.

Krisis pangan juga dapat disumbang dari persoalan bonus demografi yang dihadapi Indonesia yang puncaknya diproyeksi akan terjadi pada tahun 2030, dimana 69,3% penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori usia produktif (15-64 tahun) sedangkan 30,7% yang lain masuk ke dalam kategori usia tidak produktif. Isu bonus demografi ini diakibatkan oleh tingginya laju pertumbuhan populasi penduduk.

Menelaah dari data diatas bahwa pada kepadatan penduduk di Indonesia akan meningkat dengan tidak dibarengi dengan peningkatan produksi bahan pangan akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan dapat menopang stabilitas ekonomi yang saat ini menurut data BPS pada triwulan III tahun 2023 bertumbuh 1,60% dari triwulan sebelumnya (q-to-q).

Pemerintah Terkait persoalan ketahanan pangan telah mengeluarkan kebijakan lumbung pangan (Food Estate) yang masuk pada Program Strategis Nasional dan dialokasikan anggaran sebesar 108,8 Triliun untuk menunjang ketahanan pangan nasional. Program ini dirasa belum dapat optimal pada hasil sebagaimana tujuan awalnya yaitu untuk meningkatkan ketahanan pangan, pasalnya konsep pengembangan pangan secara integrasi masih belum jelas aral distribusinya.

Kami melihat sebenernya masyarakat secara organik telah melakukan siklus distribusi bahan pangan dengan baik, bagaimana sumberdaya alam yang ada di desa diangkut ke kota agar harga-harga pada harga pasar perkotaan kemudian uang di putar dari kota ke desa.

Kembali kepada teorinya Thomas Robert Malthus dimana pada teori demografinya ini memberikan satu gagasan atau solusi, yaitu untuk meminimalisir terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang di akibatkan melonjaknya populasi penduduk, solusi yang ditawarkan adalah menaikan daya produksi pertanian dengan mengoptimalkan potensi daerah-daerah produsen bahan pangan kemudian pemerintah sebagai pemegang kebijakan tidak boleh mengintervensi harga agak petani produsen pangan dapat sejahtera dan produksi lebih meningkat.***

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url