Ketidakadilan dalam Kriminalisasi Tiktoker: Kasus "Sadbor" dan Ironi Penegakan Hukum Dalam Promosi Judi Online
Oleh Almas Sultan, S.H., CCD.
Tangerangtalk, Opini - Penangkapan Tiktoker “Sadbor” atas tuduhan mempromosikan judi online dan kriminalisasi yang menyertainya menampilkan ironi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Tuduhan terhadap Sadbor muncul karena dia membacakan nama pengguna yang memberikan donasi dalam siaran langsungnya, di mana salah satu donatur tersebut terafiliasi dengan platform judi online.
Tuduhan ini didasarkan pada Pasal 27 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang melarang distribusi atau aksesibilitas informasi elektronik bermuatan perjudian.
Sementara itu, Pasal 45 Ayat (3) dari UU yang sama menetapkan hukuman berat hingga sepuluh tahun penjara dan denda sepuluh miliar rupiah bagi siapa saja yang mendistribusikan konten perjudian. Selain itu, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP digunakan untuk memperluas kriminalisasi terhadap siapa pun yang terlibat dalam tindakan kriminal tersebut.
Pasal-pasal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keadilan dan konsistensi dalam penerapan hukum. Di satu sisi, penyebutan nama pengguna tanpa niatan promosi dianggap sebagai pelanggaran. Namun, di sisi lain, figur publik dan selebriti yang terang-terangan mengiklankan platform judi online secara bebas tidak menghadapi konsekuensi hukum serupa, yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum.
Asas Legalitas dan Overreach dalam Kriminalisasi
Dalam hukum pidana, asas legalitas menegaskan bahwa setiap tindakan harus memenuhi kriteria jelas agar dianggap sebagai tindak pidana. Tuduhan terhadap Sadbor terkait dengan “promosi” judi online tidak memiliki unsur niat dan promosi langsung, yang seharusnya menjadi komponen utama dalam penerapan Pasal 27 Ayat (2) secara adil. Penyebutan nama pengguna yang tidak disengaja tidak dapat dianggap sebagai "promosi" sesuai dengan semangat undang-undang ini, apalagi ketika Sadbor tidak memiliki kendali atas siapa yang memberikan donasi. Interpretasi yang terlalu luas ini tampak memperluas cakupan hukum melebihi batasnya, menunjukkan adanya potensi salah penerapan yang dapat merugikan kebebasan individu untuk berekspresi.
Penegakan Hukum yang Selektif dan Perlakuan yang Tidak Konsisten terhadap Figur Publik
Kasus ini juga menyoroti kekhawatiran serius tentang penegakan hukum yang selektif. Selebriti dan influencer besar yang secara terang-terangan mengiklankan platform judi online di media sosial – bahkan menawarkan hadiah besar sebagai daya tarik – hingga kini tidak menghadapi sanksi hukum. Sebaliknya, Sadbor, yang keterlibatannya bersifat pasif dan kebetulan, malah menerima hukuman berat. Standar ganda dalam penegakan hukum ini merusak prinsip keadilan yang seharusnya diterapkan sama kepada semua orang tanpa melihat status sosial atau tingkat popularitas. Ketidaksetaraan ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum, tetapi juga mencerminkan adanya pengaruh luar dalam proses penegakan hukum yang seharusnya independen.
Arah Tanggung Jawab yang Keliru: Fokus pada Pembuat Konten Alih-alih Operator Judi
Salah satu kekeliruan dalam pendekatan penegakan hukum adalah fokus yang salah sasaran pada pembuat konten media sosial, bukan pada operator judi itu sendiri. Sesuai Pasal 45 Ayat (3), yang seharusnya dijatuhi hukuman adalah mereka yang membuat judi dapat diakses atau aktif mempromosikannya. Sasaran utama penegakan hukum seharusnya adalah para operator dan pembuat platform judi, bukan mereka yang secara tidak sengaja menyebut nama yang berafiliasi dengan judi tanpa maksud atau promosi. Dengan menangkap pembuat konten seperti Sadbor, penegak hukum tidak hanya mengalihkan perhatian dari sasaran yang tepat, tetapi juga gagal menyelesaikan akar permasalahan – yaitu mereka yang benar-benar mengambil keuntungan dari operasi judi ilegal ini. Polisi siber seharusnya lebih memprioritaskan investigasi dan penangkapan terhadap aktor utama di balik operasi perjudian tersebut.
Implikasi terhadap Kebebasan Berekspresi dan Reformasi UU ITE
Dalam era digital, media sosial menjadi wadah penting bagi kebebasan berekspresi dan mata pencaharian. Kasus Sadbor menggambarkan bahaya kriminalisasi aktivitas di media sosial tanpa mempertimbangkan konteks dan niat. Pasal 55 Ayat (1) KUHP, yang memungkinkan kriminalisasi berdasarkan “penyertaan,” seharusnya tidak diterapkan tanpa bukti jelas adanya niat untuk mempromosikan aktivitas ilegal. Situasi ini menunjukkan perlunya reformasi dalam UU ITE yang menghormati kebebasan berekspresi sekaligus menargetkan ancaman yang nyata. Penegak hukum harus menghindari interpretasi yang luas yang menghukum perilaku yang tidak berbahaya, dan sebaliknya, fokus pada niat kriminal yang jelas dan pelanggaran hukum yang konkret.
Kesimpulan: Penegakan Hukum yang Setara dan Terarah
Kriminalisasi Sadbor menunjukkan pentingnya pendekatan yang adil dan terarah dalam menegakkan undang-undang terkait judi online. Hukum harus membedakan antara penyebutan pasif mengenai judi dan promosi atau partisipasi aktif, dan hanya memberikan sanksi bagi mereka yang benar-benar terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut. Penerapan hukum yang tidak setara tidak hanya mengancam kebebasan individu tetapi juga merusak kredibilitas penegakan hukum itu sendiri.
Sebagai penutup, keadilan yang ingin ditegakkan oleh UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seharusnya dicapai dengan lebih mengedepankan keadilan substantif daripada sekadar kepatuhan formal. Upaya penegakan hukum sebaiknya difokuskan pada membongkar jaringan perjudian dan menangkap mereka yang mengatur dan mendapat keuntungan dari platform-platform ini, bukan menghukum orangg kecil seperti Sadbor yang sekadar terlibat tanpa niatan untuk mempromosikan aktivitas ilegal.