OTT: TIKET EXPRESS MENUJU JERUJI BESI UNTUK PELAKU KORUPSI

OTT: TIKET EXPRESS MENUJU JERUJI BESI UNTUK PELAKU KORUPSI
Oleh: Gina Maulida


Operasi Tangkap Tangan atau (OTT) mengacu pada tindakan penangkapan langsung terhadap pelaku tindak pidana korupsi, saat sedang melakukan atau baru saja melakukan tindak pidana tersebut. Belum lama ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau (KPK) Johanis Tanak menuai kontroversi usai mengikuti tes uji kelayakan dan kepatutan Calon Pimpinan KPK. Johanis ingin menghapus operasi tangkap tangan atau OTT jika menjadi Ketua KPK.

Johanis Tanak menyatakan bahwa OTT tidak tepat dan tidak relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Meski tidak tepat dilakukan, dia menilai bahwa mayoritas pimpinan KPK masih menyetujui agar operasi tersebut dilakukan. Johanis membandingkan operasi tangkap tangan dengan operasi medis. Beliau berpendapat bahwa operasi medis dilakukan dengan perencanaan yang matang, sedangkan OTT seringkali dilakukan secara mendadak. Menurut beliau, hal ini bertentangan dengan definisi tangkap tangan dalam hukum acara pidana.

Saat mengikuti uji kelayakan, Johanis berjanji akan menghapus OTT untuk mendapatkan dukungan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, janji ini justru akan merugikan upaya pemberantasan korupsi dan akan disambut gembira oleh para koruptor. Johanis yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, mengatakan terminologi OTT tak tepat. Operasi merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) adalah orang yang akan melakukan operasi layaknya dokter. Sementara pengertian tertangkap tangan, tambahnya, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah “suatu peristiwa yang dilakukan seketika tanpa melalui proses perencanaan” ungkapnya.

Perlu dicatat, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (UU KPK) memberikan wewenang kepada KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam segala bentuk pembicaraan di media elektronik dalam upaya penyidikan untuk pemberantasan korupsi. Penyidik, penyidik, dan penuntut yang merupakan pegawai KPK memiliki wewenang untuk melakukan hal ini. Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 38 Tahun 2002 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan bahwa segala wewenang yang terkait dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yangditur dalam UU yang mengatur mengenai hukum acara pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK, kecuali ditentukan lain berdasarkan UU ini. Yaitu dilakukan dengan menggunakan KUHAP dan Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 atau (UU Tipikor), kecuali ditentukan lain dalam UU 19 KUHAP.

Menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP, ada empat keadaan seseorang disebut tertangkap tangan. Pertama, tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana. Kedua, tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Ketiga, tertangkapnya seseorang sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Dan keempat, apabila sesaat kemudian pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu.

Terdapat dua cara untuk menangkap koruptor, yaitu menyelidiki kasus lama, dan menangkap saat kejahatan sedang terjadi. Jika cara yang kedua, yaitu operasi tangkap tangan (OTT) dihilangkan, maka KPK akan kehilangan salah satu senjata utamanya. OTT merupakan senjata efektif untuk memberantas korupsi. OTT sebaiknya tidak dihapus karena merupakan alat yang efektif untuk memberantas korupsi. Namun, KPK harus lebih berhati-hati dalam menggunakan OTT agar tidak salah sasaran dan menangkap orang yang tidak bersalah.

Proses pemeriksaan terhadap seseorang yang tertanggap tangan tetuang dalam Pasal 102 dan Pasal 111 KUHAP. Menurut Pasal 102 ayat (2) dan (3) KUHAP,  proses pemeriksaan terhadap seseorang yang tertangkap tangan dilakukan sebagai berikut:

1. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP.

2. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut, penyelidik wajib membuat beirta acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.

Sedangkan menurut Pasal 111 KUHAP, sebagai berikut:

1. Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.

2. Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.

Tahun 2019 UU KPK direvisi, perubahan mendasar revisi UU KPK dalam struktur check and balance terletak pada keberadaan Dewan Pengawas, yang menggantikan Komite Etik. KPK pernah membentuk Komite Etik yang berisi gabungan unsur internal dan eksternal. Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu, dalam diskusi “Mata Najwa”, menyebutkan bahwa revisi UU KPK membuat lembaga anti-korupsi nasional ini sama seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong yang juga memiliki Dewan Pengawas.

ICAC juga memiliki lembaga semacam Dewan Pengawas, yakni Komite Penasihat berisikan masyarakat sipil (eksternal). Di Hong Kong, ICAC tak perlu minta izin Komite ini untuk menyadap sebagaimana yang kini berlaku di Dewan Pengawas KPK.

Penindakan yang tegas membuat aparat semakin taat hukum sehingga tingkat korupsi mereka turun. KPK harus mengedepankan penindakan (mengingat masih kuatnya perilaku korup di lembaga negara kita). Data Anti-Corruption Clearing House (ACCH) tahun 2014-2024 menyebutkan mayoritas tipikor dilakukan anggota DPR, diikuti pengusaha dan pejabat pemerintah.

Di tengah masih terbatasnya jumlah pegawai KPK (1.557 pegawai, jauh dibandingkan ICAC Hong Kong dengan 5.000 pegawai), maka penindakan semestinya menjadi fokus utama KPK, agar tak sekadar menjadi "pawang" para calon koruptor dengan berceramah dan sosialisasi berharap mereka tak merugikan negara.

Ketika DPR menyetujui OTT dihapuskan, maka bukanlah kejutan bagi publik. Akan tetapi, apabila ternyata DPR merealisasikan janji bahwa revisi UU KPK akan membawa kemajuan bagi pemberantasan korupsi, maka itu adalah legacy pemerintahan baru Indonesia.

Operasi tangkap tangan sangat efektif untuk membuktikan kejahatan yang sulit dicari pembuktiannya, termasuk kejahatan tindak pidana korupsi. Dalam operasi tangkap tangan, seseorang yang terbukti melakukan transaksi gelap akan langsung dapat dibuktikan dengan barang bukti di lokasi kejadian operasi tangkap tangan. Dan OTT adalah salah satu instrumen penegakan hukum yang tegas dan keras. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url