Refleksi Hari Hak Asasi Manusia: Tantangan Negara dalam Menegakkan Keadilan bagi Para Korban HAM
Penulis: Naufalazis Ghofur |
Opini, Tangerangtalk - Hari Hak Asasi Manusia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember menjadi momen penting untuk mengevaluasi sejauh mana negara melaksanakan kewajibannya dalam melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM.
Hak Asasi Manusia merupakan pada hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu sejak lahir sebagai anugerah kemanusiaan yang harus dihormati dan dilindungi tanpa diskriminasi. Hak-hak ini mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang bertujuan untuk melindungi martabat manusia dan mendukung perkembangan pribadi dalam masyarakat yang adil dan berkeadilan. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, hak asasi manusia bersifat universal, tidak dapat dicabut, dan berlaku bagi setiap individu di mana pun mereka berada.
Dalam refleksi Hari HAM, penting untuk mengevaluasi peran negara dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, baik di masa lalu maupun masa kini. Meski telah ada berbagai kebijakan, termasuk ratifikasi instrumen HAM internasional, realisasi keadilan bagi korban masih berjalan lambatantangan untuk memberikan keadilan yang komprehensif masih menjadi tantangan yang berat bagi indonesia.
HAM, yang seharusnya menjadi landasan moral sebuah negara, sering kali hanya menjadi sekadar wacana. Di Indonesia, pelanggaran HAM berat seperti peristiwa 1965-1966 dan Tragedi Semanggi adalah pengingat kelam bahwa slogan "negara hukum" belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi realitas. Ironisnya, para korban masih harus berjuang sendiri mencari keadilan sementara para pelaku menikmati status sosial yang mapan. Ketidaktegasan dalam menindak pelaku pelanggaran HAM menciptakan budaya impunitas yang melindungi pelaku dari akuntabilitas hukum. Banyak kasus tidak dilanjutkan ke pengadilan atau berakhir tanpa putusan yang adil.
Jika sistem hukum dibuat untuk melindungi keadilan, mengapa para korban harus menunggu puluhan tahun tanpa kepastian? Apakah keadilan harus tunduk pada birokrasi yang berbelit-belit dan keputusan politik yang penuh negosiasi?
Para Korban membutuhkan tindakan konkret. Ganti rugi yang diberikan harus mencerminkan rasa keadilan, bukan sekadar angka yang dilemparkan untuk memenuhi formalitas. Sistem hukum yang kuat menjadi benteng terakhir bagi korban pelanggaran HAM. Namun, jika hukum hanya berlaku bagi mereka yang tidak punya kuasa, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan makna “kesetaraan di depan hukum.”
Seharusnya pemerintah membenahi sistem hukum yang lambat, kurang independen, dan tidak responsive dan terhadap menghambat proses penyelesaiannya. Komnas HAM hanya memiliki kewenangan yang terbatas sehingga sulit untuk memaksa negara menyelesaikan kasus. Seharusnya Komnas HAM dan pengadilan HAM harus diperkuat dari segi kewenangan, sumber daya, dan independensi agar lebih efektif dalam menyelesaikan kasus. Pemerintah harus melakukan sinkronisasi dengan kejaksaan agung dengan membuat mekanisme formal antara Komnas HAM agar hasil penyelidikan memiliki dasar hukum yang mengikat sehingga kasus tersebut tidak serta merta diabaikan.
Reformasi hukum Undang-undang No. 26 Tahun 2000 harus direvisi untuk mengatasi kelemahan prosedural dan mempercepat penyelesaian kasus. Dalam Proses penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM berat cenderung berlarut-larut karena tidak ada batasan waktu yang jelas. Reformasi hukum diperlukan untuk mememperkuat sistem hukum responsif bagi para pelanggar HAM Berat.
Refleksi Hari HAM harus menjadi momentum bagi negara untuk memperbaiki komitmennya dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Dengan reformasi institusional, penegakan hukum yang tegas, dan dukungan terhadap korban, negara dapat memastikan penghormatan dan pemenuhan HAM secara lebih baik di masa depan.