STOP NORMALISASI GUYON SEKSIS
Penulis: Sinta Eka Marlina |
Akhir-akhir ini jagat maya di hebokan dengan beredarnya penghinaan kepada pedagang es teh dalam acara sebuah majelis pengajian yang dilakukan oleh agamawan sekaligus pejabat politik utusan presiden yakni Miftah Maulana Habbiburahman di Magelang, Jawa Tengah
Netizen beramai-ramai marah dan melakukan pengecaman terhadap tindakan Miftah. Ramainya desakan Netizen menyebabkan Miftah mengundurkan diri sebagai pejabat politik. Meskipun begitu, viralnya perlakuan penghinaan tersebut membuat banyak vidio-vidio ceramah Miftah kembali ramai dibahas, Yang tidak kalah mengecewakan adalah guyon seksis dan misoginis Miftah kepada seniman senior ibu Yati pesek, seperti "bude Yati elek milih jadi seniman kalo cantik jadi lonte” "susune expired" Guyon seksis seperti ini sangat tidak pantas diucapkan oleh siapapun kepada siapapun.
Guyon seksis sebetulnya sangat sering terjadi baik dikalangan politisi, agamawan, tokoh masyarakat dll. Sebagai perempuan saya cukup sering menemukan candaan seksis ini, semisal sewaktu saya menghadiri kajian di organisasi kepemudaan di kabupaten tanggerang, waktu itu kami diundang untuk berdiskusi terkait permasalahan lingkungan, ada sekitar 3 perempuan yang cukup vokal bersuara termasuk saya, kemudian senior dari organisasi kepemudaan itu langsung berbicara sebagai berikut,
"Cewe yah harus berani ngomong kan mulutnya ada dua, mulut atas dan mulut bawah"
Saya terdiam dan betul-betul tidak nyaman atas ucapannya itu, bagaimana mungkin organ seksual perempuan dijadikan guyon di tengah-tengah kajian akademik yang sedang membahas soal lingkungan hidup.
Kemudian hal serupa terjadi saat saya berada di salah satu kegiatan TOT di Jogya, waktu itu ada pemateri yang bilang "perempuan kalo naik gunung, turun-turun udah ga perawan" what?
Padahal kegiatan naik gunung adalah bentuk tadabbur alam yang jika di resapi membawa kita pada kerendahan hati kepada sang pencipta. Saya sebagai orang yang juga pernah naik gunung tidak terpikir untuk melakukan tindakan asusila yang ada hanyalah memikirkan keselamatan hingga sampai di rumah, tidak habis pikir kenapa orang itu bisa-bisanya berpikiran seperti itu.
Di kampus lebih parah lagi, dulu ada dosen yang setiap mengajar hampir selalu melontarkan celotehan seksis, misoginis yang merendahkan perempuan. Setiap jam pelajaran mau selesai dosen ini akan bilang si A (tentu mahasiswi yang Dia sebut) gelisah mau cepat pulang
"Gelisa, Geli-Geli basah"
Terus sebutan "Janda-Janda montok" dll
Dan yang bikin sedihnya lagi laki-laki yang ada di ruangan itu akan ikut tertawa terbahak-bahak, seolah memvalidasi bahwa perempuan layak untuk dijadikan bahan olok-olokan.
Pembaca juga pasti masih ingat kampanye-kampanye tokoh publik yang berlaga di pilkada 2024 baru-baru ini, ada berapa banyak yang seksis.
Kalau ditelusuri lebih dalam candaan seksis layaknya sebuah gunung es. candaan seksis adalah permukaan dari bongkahan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk subordinasi dan objektivikasi.
Meskipun seringkali dianggap candaan guyon seksis merupakan bentuk paling dasar dari kekerasan berbasis gender.
Ada beberapa alasan mengapa kita harus berhenti menormalisasi candaan seksis. Pertama, dalam piramida kekerasan berbasis gender candaan seksis menjadi dasar yang paling awal dari terjadinya pembunuhan terhadap perempuan atau Femisida. Kalau kita terus menormalisasi candaan seksis artinya menyuburkan bibit-bibit terjadinya Femisida yang menjadi tingkat paling parah dari kekerasan berbasis gender.
Ke dua perempuan adalah manusia yang juga memiliki hak-hak individual yang harus dihormati selayaknya laki-laki. Keadilan dalam masyarakat modern tidak akan tercapai jika perempuan terus saja dimarginalkan, Artinya kemajuan peradaban manusia yang berkeadilan dan bermartabat hanyalah utopia.