Keadilan Ditangan Netizen "No Viral No Justice"

 

Walminah_Permahi Untirta

Tangerangtalk – Fenomena "No Viral No Justice" mencerminkan keresahan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Istilah ini berkembang saat korban atau pihak yang dirugikan menggambarkan situasi mereka melalui sosial media, di mana keadilan yang dimaksudkan masih belum mendapatkan tindakan yang sesuai dari aparat penegak hukum yang ada dan baru dapat tercapai setelah kasus tersebut viral di media sosial.

Dari banyaknya kasus yang baru di respon setelah viral oleh aparat penegak hukum adalah kasus yang melibatkan seorang karyawati toko roti di kawasan Cakung, Jakarta Timur yang berinisial DAD (19), yang menjadi korban penganiayaan oleh anak pemilik toko berinisial GHS. Kasus ini menyoroti pelaporan yang telah dilakukan oleh DAD pada bulan Oktober 2024 tapi masih belum mendapatkan respon yang sesuai dan korban baru menerima respons dan tindak lanjut yang memadai dari kepolisian setelah video penganiayaan tersebut viral di media sosial. DAD sebelumnya telah melaporkan kejadian itu beberapa kali, namun hingga Desember 2024, perhatian serius dari aparat penegak hukum baru muncul seiring dengan viralnya video tersebut.

Kondisi seperti ini akhirnya berimplikasi pada peran sorotan media massa dalam membentuk opini publik, yang sering kali baru menjadi pemicu bagi aparat penegak hukum untuk bertindak lebih cepat dan tegas. Hadirnya tagar "No Viral No Justice" menunjukkan betapa kuatnya tekanan publik dalam mempengaruhi jalannya proses hukum di Indonesia, meskipun seharusnya hukum berjalan independen tanpa intervensi eksternal. Tapi saat masyarakat (netizen) menilai bahwa bukan ini yang dinamakan keadilan maka mereka berhak menyuarakan kebenaran.

Dengan hadirnya sorotan media yang dapat menjangkau semua orang ini memberikan kesan bahwa perhatian publik menjadi faktor penentu dalam penanganan kasus. Dimana akan muncul pertanyaan besar mengenai integritas dan profesionalisme institusi hukum dalam menjalankan tugasnya secara adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang berlaku.

Di sisi lain, fenomena ini juga menunjukkan kekuatan media sosial sebagai alat advokasi dalam memperjuangan keadilan. Dengan jutaan pengguna aktif di media sosial, membuat platform seperti Instagram, Twitter/X, TikTok, YouTube, dan lainnya menjadi tempat yang efektif untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Pengambilan tindakan yang lamban dan tidak sesuai pun akhirnya berimplikasi pada menurunnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum yang dinilai seharusnya menegakkan keadilan sesuai dengan amanat konstitusi bukan justru penegakan baru terjadi saat tagar "No Viral No Justice" di naikkan oleh masyarakat (netizen) sebagai jalur alternatif advokasi.

Sampai kapan tagar "No Viral No Justice" dan viralitas ini harus terus menjadi jalur alternatif untuk mempercepat reaksi penegakan hukum di Indonesia? Karena ketergantungan terhadap viralitas berpotensi menimbulkan ketidakmerataan perhatian terhadap kasus-kasus yang lainnya, sehingga menuntut reformasi yang mendalam dalam sistem penegakan hukum nasional adalah point kunci yang seharusnya diakomodir lebih awal agar adagium "Equality Before The Law" sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." dan pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Kedua pasal di atas seharusnya mampu menjadi pelindung bagi masyarakat untuk tidak didiskriminasi sehingga penegakan hukum yang berkeadilan itu dapat tercapai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url