CARUK MARUK PERMASALAHAN PAGAR LAUT : MERENGUT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DITINJAU DARI ASPEK HUKUM

CARUK MARUK PERMASALAHAN PAGAR LAUT : MERENGUT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DITINJAU DARI ASPEK HUKUM
Arya Jons Simanjuntak_Permahi Untirta


Tangerangtalk –  Pagar laut sebenarnya merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu pembatas yang dibangun di lepas pantai. Bahan yang digunakan sebagai pemagaran biasanya dari kayu panjang maupun batang bambu.


 Kayu atau bambu tersebut ditancapkan sejajar dalam jarak tertentu untuk suatu tujuan. Ditinjau dari publikasi Monsoon Wave Transmission at Bamboo Fences Protecting Mangroves in the Lower Mekong Delta di Sciencedirect oleh Tuan Thieu Quang, pagar laut ini acap dijumpai di wilayah tropis seperti Thailand, Indonesia, dan Vietnam. 

Pagar biasanya dipasang sebagai upaya meminimalkan erosi pantai di pantai lumpur bakau. Pagar laut dari bambu ini menjadi alternatif pemecah gelombang selain beton. Selain disebut lebih minim risiko–pagar beton riskan memecah lambung kapal– pagar tersebut memiliki fungsi mirip seperti tanaman bakau. Yakni, meredam gelombang dan meningkatkan penjebakan sedimen. Kendati efektif, penelitian menunjukkan bahwa pagar laut dari bambu memiliki kekurangan. Pagar tersebut tidak dapat menahan gelombang tinggi dan memerlukan perawatan dan perbaikan yang sering. Oleh karena itu, penggunaannya paling cocok di daerah dengan energi gelombang rendah. Terutama yang bertujuan untuk mendukung penanaman bakau baru pada tahap awal reboisasi. Penelitian itu sejalan dengan riset Cong Mai Van dkk dalam publikasi Bamboo Fences as a Nature-Based Measure for Coastal Wetland Protection in Vietnam yang diunggah di jurnal Original Research. Sigi oleh sejumlah mahasiswa di Hanoi, Vietnam itu mengungkapkan bahwa pagar laut dari bambu lebih efektif digunakan sebagai pengganti hutan bakau di tahap awal penanaman. “Pagar bambu atau melaleuca telah digunakan sebagai solusi berbasis alam untuk mengurangi gelombang dan arus yang mendekati pantai untuk pengganti hutan bakau sementara di sepanjang pantai delta Mekong Vietnam,” ucap penelitian. Di sisi lain, justru keberadaan pagar laut itu merugikan nelayan setempat. Salah satu nelayan sekitar pagar laut Bekasi, Mitun, 28 tahun, mengatakan, aktivitas masyarakat sekitar sangat terganggu dengan adanya pagar laut. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan. Sebab, sejak pagar bambu itu berdiri ia dan ratusan nelayan lainnya jadi kesusahan dalam mencari ikan.

Kasus pemagaran laut di Teluk Jakarta, tepatnya di Kabupaten Tangerang, Banten, masih terus memanas. Sejak viral dan disegel Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 9 Januari 2025 lalu hingga dilakukan pembongkaran paksa oleh TNI AL beserta nelayan, Sabtu (18/1/2025), belum ada kejelasan siapa yang memodali pagar laut sepanjang 30,16 kilometer itu. Tidak kurang ada Ombudsman Republik Indonesia, KKP, TNI AL, hingga Pemerintah Provinsi Banten sepakat bahwa pagar laut itu tidak berizin. Konstruksi dari bambu ini membatasi akses keluar masuk kapal nelayan dan mengganggu kawasan perairan tangkap. Diketahui pula bahwa aktivitas ilegal itu sudah berlangsung sejak tahun lalu. Pagar laut, sebagai salah satu kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering kali menimbulkan konflik dan permasalahan yang merugikan kesejahteraan rakyat. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan yang muncul akibat penerapan pagar laut dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini mengidentifikasi faktor- faktor penyebab konflik serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan. Banyak masyarakat pesisir yang merasa terpinggirkan dan kehilangan akses terhadap sumber daya yang menjadi mata pencaharian mereka. Permasalahan ini menimbulkan konflik antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal, yang pada akhirnya merengut kesejahteraan rakyat. 

            Adapun permasalahan yang muncul akibat pagar laut yang dimana jika kita kontekstualkan itu sudah melanggar norma dimasyarakat dan norma-norma hukum, yaitu:

1.Teori/Norma Keadilan

        Menurut Aristoteles, keadilan adalah keseimbangan yang didasarkan pada kesamaan numerik dan proporsional. Aristoteles juga membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan universal ( semua orang sama dihadapan hukum ) dan keadilan partikular ( semua orang mendapatkan apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan kepunyaannya). Teori keadilan menurut John Rawls adalah metode untuk menghasilkan keadilan dalam masyarakat yang majemuk. Teori ini dijelaskan dalam buku A Theory of Justice yang ditulis oleh Rawls pada tahun 1971. Teori keadilan Rawls didasarkan pada prinsip kebebasan setara dan prinsip perbedaan. Dalam konteks pagar laut, kebijakan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat pesisir dapat dianggap tidak adil. Masyarakat lokal sering kali kehilangan akses terhadap sumber daya yang menjadi mata pencaharian mereka, sementara pengusaha dan investor mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini menciptakan ketidakadilan sosial yang merugikan kesejahteraan rakyat.


2. Teori Kepentingan Umum

         Teori kepentingan umum menekankan bahwa kebijakan publik harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Penerapan pagar laut yang mengabaikan kepentingan masyarakat lokal bertentangan dengan prinsip ini. Kebijakan yang lebih mengutamakan investasi dan pengembangan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat pesisir dapat menyebabkan konflik dan ketidakpuasan. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan kebijakan yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan sosial.



3. Teori Hak Asasi Manusia

          Teori hak asasi manusia menekankan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengakses sumber daya yang diperlukan untuk kehidupan yang layak. Dalam konteks pagar laut, kebijakan yang membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya kelautan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Masyarakat pesisir berhak untuk mendapatkan akses yang adil terhadap sumber daya yang menjadi mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kebijakan pagar laut tidak merugikan hak-hak masyarakat lokal.



4. Melanggar adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

              Dalam UU tersebut khususnya Pasal 17 mengatur bahwa setiap pemanfaatan wilayah pesisir dan laut harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang laut (IPRL). Pemagaran yang menghalangi akses nelayan atau mengubah fungsi ekosistem laut tanpa izin dapat dianggap melanggar aturan ini. Pendapat ini juga sama dengan ucapan pendapat yang dikeluarkan oleh Anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan “ Jika pagar berdampak pada kerusakan ekosistem atau keberlanjutan ekonomi nelayan, hal ini juga bertentangan dengan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan,”. Merujuk pada pasal 12 dan 13 UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimana isinya mengatur tentang Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jika merujuk pada pasal 12 dan pasal 13 , seseorang yang ingin mengelola wilayah pesisir dan pulau kecil tersebut harus membuat rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP) dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RAPWP) adanya RPWP dan RAPWP dengan tujuan untuk prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan dilarang. 



5. Melanggar adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

          Di Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mensyaratkan bahwa setiap kegiatan yang berdampak penting pada lingkungan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika pemagaran ini menyebabkan gangguan ekosistem laut, seperti terganggunya aliran air, rusaknya habitat laut, atau pencemaran, maka pelaku pemagaran dapat dikenakan sanksi.



6. Melanggar adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 23 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

              Pasal 8 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mewajibkan semua pihak yang melakukan pemanfaatan ruang laut untuk mengutamakan kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian lingkungan. Jika pemagaran ini mengabaikan masyarakat pesisir, seperti nelayan, dan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, maka tindakan tersebut melanggar aturan.

  

        

            

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url