MISKONSEPSI MEMAKNAI AFFIRMATIVE ACTION
Tangerangtalk — Dalam diskursus keadilan gender Affirmative action seringkali diasumsikan sebagai koin dua sisi, Satu sisi dianggap penting untuk mewujudkan masyarakat yang setara dan inklusif, di lain sisi justru dikhawatirkan menciptakan diskriminasi gaya baru. Pada praktiknya, kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Mereka yang kontra menganggap kebijakan affirmative action adalah perwujudan dari seksisme terselubung yang menempatkan perempuan pada kondisi lemah. Affirmative action juga dianggap sebagai kedok perempuan yang ingin diperlakukan spesial, Seperti narasi-narasi berikut: “maunya setara tapi kok perempuan ada gerbong khusus sedangkan lelaki tidak” “kenapa ada ladies parking?”, “katanya mau setara tapi kok ada cuti menstruasi segala”.
Pandangan seperti ini menurut hemat saya adalah bentuk miskonsepsi dalam memaknai affirmative action. Penting untuk digarisbawahi bahwa affirmative action bukanlah perlakuan spesial melainkan upaya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kelompok tertentu yang selama ini masih mengalami diskriminatif, kekerasan, marginalisasi akibat hegemoni budaya patriarki untuk memperoleh peluang yang setara dengan kelompok lain.
Dilansir dari H.Sayuti dalam ejournal.uin-suska.ac.id (2013) isu affirmative action telah populer pada pertengahan abad ke-20.
Affirmative action beranjak dari sebuah ide dan gerakan untuk memastikan setiap orang dapat memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama dalam berbagai bidang berbangsa dan bernegara.
Kisahnya pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy pada tahun 1961, dengan mengeluarkan kebijakan affirmative ketenagarakerjaan dalam Exevutive Order 10925. Sri Lanka melaksanakannya pada tahun 1971 bidang pendidikan. Sementara itu, Perancis sejak tahun 1980-an juga dalam bidang pendidikan. Demikian pula halnya, Malaysia, Kanada, Brazil, Afrika Selatan dan banyak negara dunia yang telah melaksanakan substansi gerakan affirmative action ini jauh lebih awal.
Di Indonesia affirmative action berjalan lamban sejak emansipasi wanita dan terus diupayakan hingga sekarang. Affirmative action termaktub dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai kesetaraan dan keadilan inklusif. Pengejawantahannya berupa gerbong khusus perempuan, ladies parking, cuti haid, hamil, melahirkan, menyusui, keguguran dan sejenisnya.
Secara teoritis Tom Campbell, dalam H.Sayuti (2013) menyatakan bahwa affirmative action adalah “kebijakan yang dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskrimasi”.
Dengan demikian affirmative action dapat menjadi solusi sementara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif, subordinasi dan marginalisasi di segala bidang kehidupan akibat hegemoni patriarki, Sehingga menyebabkan kelompok tertentu tidak memiliki akses dan kesulitan berpartisipasi dalam kehidupan publik ditambah lagi bayang-bayang kekerasan seksual yang masih menghantui perempuan. Dikutip dari laman resmi komnas perempuan, sepanjang tahun 2024 angka kekerasan berbasis gender di Indonesia sebanyak 2.700 kasus, artinya tingkat keamanan bagi perempuan diruang publik maupun privat masih sangat rentan. Sehingga diperlukan intervensi dari negara sebagai upaya untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan.
Dalam pandangan teologis, Islam pada praktinya sejak zaman nabi sudah menerapkan affirmative action secara substantif.
Adapun teks hadis yang saya pahami sebagai semangat untuk memberikan perlindungan kepada perempuan, yakni “Perempuan keluar rumah harus dengan mahramnya”. Mengapa demikian? Seperti yang banyak dimuat dalam berbagai literatur, kondisi sosial Jazirah Arab Pra-islam sangat tidak manusiawi, adanya perdagangan manusia, perbudakan, pelecehan seksual, perkosaan, pemukulan, pembunuhan, apalagi saat terjadi perang perempuan seringkali menjadi sasaran tindak kejahatan dan hal seperti ini biasa terjadi. Sehingga dalam situasi dan kondisi yang tidak aman kewajiban mahram itu hadir sebagai perlindungan dan pengamanan. Oleh sebabnya narasi hadis tersebut harus dimaknai sebagai jawaban kondisi sosial di kala itu.
Narasi hadis yang melarangan perempuan keluar rumah kalau tidak bersama mahramnya adalah narasi affirmative action untuk melindungi perempuan dari masyarakat Jazirah Arab yang patriarki dan membahayakan perempuan. Dalam konteks masyarakat kontemporer perlindungan dan pengamanan telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan seperti kepastian hukum, perlindungan keamanan fasiltas transportasi dll.
Di Indonesia Affirmative action seperti gerbong khusus perempuan, ladies parking dan sejenisnya hadir karena perempuan masih harus hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Sedangka cuti menstruasi adalah pemenuhan hak perlindungan reproduksi perempuan yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Sudah banyak sekali penelitian yang menyatakan bahwa gejala menstruasi dapat mengganggu sebagian besar aktivitas perempuan sehingga diperlukan waktu beristirahat yang cukup.
Dalam Islam perempuan menstruasi di berikan waktu untuk tidak menjalankan ibadah-ibadah ritual agar ia bisa fokus beristirahat dan pemulihan, lantas siapa manusia yang masih memaksa perempuan untuk terus berkerja ditengah kesakitanya, sedang Tuhan saja tidak.
Affirmative action adalah ikhtiar agar perempuan mendapatkan ruang aman sehingga terhindar dari kekerasan berbasis gender. Bentuknya bisa sangat beragam dan berubah-ubah kapan saja dan di mana saja.
Kendati ia beranjak dari sebuah ide dan gerakan maka penting untuk dilakukan evaluasi secara terus-menerus agar semangat untuk melindungi perempuan tidak lantas menjauhkannya dari semangat untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan yang inklusif.
Menurut kamu dalam kondisi sosial negara Indonesia saat ini, apakah kebijakan affirmative action masih diperlukan ?